AKIBAT HUKUM PENENTUAN NILAI PASAR DALAM PEMBUATAN AKTA JUALBELI TANAH DAN BANGUNAN OLEH PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA MENGENAI NILAI JUAL OBYEK PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (NJOP – BPHTB)



Oleh : Mulyono, S.H., M.Kn.

A.    Pendahuluan
Membangun suatu negara tentu dibutuhkan suatu dana yang sangat besar, karena pada prinsipnya negara adalah pihak yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pembangunan nasional secara menyeluruh meskipun tidak sedikit swasta yang mengambil peran atau mengambil bagian dalam pelaksanaan pembangunan tersebut.
Pada dasarnya sumber dana yang besar yang dibutuhkan negara untuk membiayai pembangunan berasal dari berbagai macam sumbernya, antara lain bisa dari pendapatan pajak, restribusi, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), royalti, cukai, utang luar negeri, bagi hasil migas, kontrak karya tambang, visa dan pendapatan lainnya.
Pada dekade tahun 1980-an Indonesia mengandalkan modal untuk membiayai pembangunan yang berasal dari ekspor migas yang saat itu menjadi primadona pendapatan negara, bahkan pada masa itu Indonesia memegang peranan penting dalam organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC), akan tetapi dengan berkurangnya sumber minyak bumi dan penggunaan migas dalam negeri yang pertumbuhannya sangat cepat, minyak bumi tidak dapat dijadikan andalan untuk penerimaan negara bahkan Indonesia sendiri saat ini sebagai negara pengimpor minyak terbesar baik minyak mentah maupun yang sudah jadi.
Karena migas yang sudah tidak dapat lagi dijadikan andalan penerimaan negara tentu kebutuhan pembiayaan tersebut harus dicarikan sumber dana lainnya. Pemerintah pada saat ini belum dapat secara penuh mengandalkan ekspor non migas sebagai pengganti migas karena daya saing produk Indonesia yang masih kalah dengan negara-negara maju serta masyarakat Indonesia yang belum sadar betul untuk mencintai atau memakai produk dalam negeri, untuk itu solusi yang digunakan pemerintah saat ini adalah dengan menggenjot penerimaan negara dari pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Begitu pentingnya pajak maka pemerintah memperioritaskan pajak sebagai pendapatan negara yang utama dan mengatur mekanisme pengaturan dan pemungutan pajak melalui Undang-Undang supaya tidak terjadi tumpang tindih dalam pemungutan pajak antara pemerintah pusat dan daerah.
Pengertian pajak sendiri menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani adalah [1] iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh wajib yang membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Salah satu yang sedang menjadi pembicaraan hangat dimasyarakat saat ini adalah diundangkannya Undang-Undang nomor 28 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah (UU PDRD) terutama yang berkaitan dengan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dimana kewenangan pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal  Pajak dilimpahkan kepada pemerintah kabupaten/kota.
Sebelumnya pengaturan BPHTB diatur dengan UU 21 nomor Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (UU BPHTB) akan tetapi seiring dengan dilimpahkannya kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dengan adanya otonomi daerah maka pajak BPHTB pengaturannya juga dilimpahkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah Kabupaten/kota.
Pelimpahan tersebut tidak hanya dalam segi pemungutan saja akan tetapi termasuk pengelolaan dan penampungan dari dana yang dipungut dari masyarakat melalui Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan menggunakan rekening pemerintah kabupaten/kota sebagai rekening penampung.
Selain kewenangan mengenai pemungutan hal yang mengalami perubahan adalah tentang batas nilai jual obyek pajak tidak kena pajak, berikut ini adalah tabel perubahan mengenai NJOPTKP yang berlaku secara nasional :

Peralihan Hak
UU BPHTB
(dalam rupiah)
UU PDRD
(dalam rupiah)
Jual beli
Maksimal 30 juta
Maksimal 60 juta
Hibah
Maksimal 30 juta
Maksimal 100 juta
Hibah Wasiat
Maksimal 100 juta
Maksimal 300 juta
Pembagian Hak Bersama
Maksimal 30 juta
Maksimal 60 juta
Turun Waris
Maksimal 100 juta
Maksimal 300 juta

Sekilas keadaan data tersebut diatas seolah-olah membuat beban masyarakat menjadi berkurang karena batas minimum perbuatan hukum peralihan hak atas tanah yang tidak kena pajak menjadi tinggi sehingga dimungkinkan untuk terkena pajak menjadi sedikit, akan tetapi karena mekanisme pemungutan yang diserahkan kepada masing-masing pemerintah kabupaten/kota maka dilapangan terjadi dissinkronisasi mekanisme pemungutan pajak dan masing-masing daerah berusaha untuk memperoleh BPHTB yang besar karena sebagian besar porsi hasil BPHTB tersebut akan diserahkan kepada masing-masing pemerintah kabupaten/kota.
Dissinkroninasi tersebut antara lain yaitu bahwa peraturan perundangan yang menjadi dasar pemungutan pajak BPHTB tersebut bertentangan dengan peraturan perundangan lainnya.
Belum lagi adanya verifikasi atau validasi BPHTB yang dilakukan oleh masing-masing pemerintah kabupaten/kota yang secara normatif dan yuridis bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya serta menghambat tugas dari pejabat lainnya (PPAT, notaris ataupun pejabat lelang).
B.     Permasalahan
Dengan dilimpahkannya kewenangan pemungutan BPHTB dari pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten/kota tersebut diatas menyisakan berbagai permasalahan terutama bagi Notaris/PPAT sebagai pihak perantara pemungut BPHTB, hal ini berkaitan dengan tugasnya dibidang pelayan hukum untuk menjamin kepastian hukum dalam hal peralihan hak atas tanah dan bangunan terutama jual beli berkaitan dengan adanya verifikasi yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota untuk menentukan nilai pasar dari obyek pajak yang diperalihkan tersebut.
Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain:
a.       Apakah verifikasi BPHTB untuk penentuan nilai pasar yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/kota yang dijadikan dasar penghitungan pajak BPHTB sah menurut Undang-Undang?
b.      Bagaimana kepastian hukum akta jual beli yang dibuat oleh PPAT berkaitan dengan verifikasi atau validasi BPHTB yang dibuat oleh Pemerintah Kota/kabupaten?

C.    Pembahasan
Dari perumusan masalah tersebut diatas dapat kita uraikan atau kita jawab satu persatu permasalahan berkaitan dengan judul makalah diatas yaitu: AKIBAT HUKUM PENENTUAN NILAI PASAR DALAM PEMBUATAN AKTA JUALBELI TANAH DAN BANGUNAN OLEH PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA MENGENAI  NILAI JUAL OBYEK PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (NJOP – BPHTB).
Sebelum diundangkannya UUPDRD bahwa penentuan NJOP atas peralihan hak atas tanah dan bangunan terutama untuk perbuatan hukum yang berkaitan dengan jual beli adalah mengacu pada nilai yang lebih tinggi antara NJOP yang terdapat pada SPPT-PBB tahun berjalan dengann Nilai riil dari transaksi jual beli tersebut yang dituangkan dalam akta jual beli yang dibuat oleh PPAT.
Hal itu menjadi masalah ketika NJOP dan nilai transaksi jual beli tersebut tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki atau yang diinginkan oleh pemerintah kabupaten/kota terutama untuk NJOP atau nilai transaksi yang nilainya kecil sehingga pemerintah kabupaten/kota tidak dapat menarik pajak BPHTB tersebut.
Mengacu pada penjelasan diatas, timbul suatu pertanyaan apakah penetuan nilai pasar tersebut sah menurut Undang-Undang?
Penentuan nilai pasar yang dilakukan pemerintah kabupaten/kota adalah sah menurut Undang-Undang karena jelas dalam pasal UUPDRD bahwa nilai pasar menjadi acuan atau dasar penghitungan pajak BPHTB diatur jelas dalam Undang-Undang ini. Akan tetapi penentuan nilai pasar yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota tersebut akan menyalahi esensia dari perjanjian jual beli tersebut.
Jual beli pada dasarnya adalah kesepakatan para pihak, sedang dengan adanya verifikasi mengenai NJOP-BPHTB akan membuat perjanjian jual beli tersebut dibuat bukan karena adanya kesepakatan para pihak akan tetapi paksaan dari instansi pemerintah, hal itu juga dapat dikatakan pemaksaan negara terhadap hak pribadi warga negara.
Akibat dari penentuan nilai pasar tersebut berimbas pada tugas atau kerja PPAT dalam membuat akta jual beli, hal itu dikarenakan nilai transaksi dalam akta jual beli tersebut tertulis bukan kesepakatan para pihak.
PPAT adalah bertugas mencatat, mendengar dan melihat apa yang ia ketahui mengenai perjanjian yang dibuat oleh para pihak dan perjanjian jual beli yang dibuat dihadapan PPAT tersebut mempunyai akibat hukum bahwa seandainya perjanjian tersebut terdapat sengketa para pihak tentunya apabila terdapat pembatalan perjanjian tersebut pengadilan akan memerintahkan penjual untuk mengembalikan uang penjualannya tersebut sesuai dengan yang tertulis dalam perjanjian tersebut.
Akibatnya akan terdapat pengembalian atau pembatalan nilai jual beli yang tidak sesuai dengan keadaan riil dalah akta jual beli tersebut. Hal itu juga sebagai celah hukum yang melemahkan tugas PPAT karena perjanjian yang dibuat dihadapan PPAT tidak dibuat secara sah karena dapat menguntungkan salah satu pihak.
Selain masalah tersebut diatas, penentuan nilai pasar oleh pemerintah kabupaten/kota juga dapat menjadi ajang korupsi, kolusi dan nepotisme aparat yang menanganinya supaya wajib pajak tidak terkena pajak BPHTB asal membayar atau berkerja sama dengan aparat tersebut.

D.    Penutup
1.      Simpulan
Bahwa pelimpahan wewenang Direktorat Jenderal Pajak kepada pemerintah kabupaten/kota adalah wujud nyata dari adanya otonomi daerah dibidang perpajakan.
Daerah dianggap mengetahui langsung potensi dibidang perpajakan khususnya BPHTB, sehingga akan meningkatkan pendapatan daerah dibidang pajak mengenai peralihan hak atas tanah dan bangunan.
BPHTB diatur jelas dalam Undang-Undang PDRD sehingga sah dasar hukum pemungutannya yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota, akan tetapi penentuan nilai jual beli yang didasarkan asumsi nilai pasar bertentangan dengan esensi perjanjian jual beli tersebut yang merupakan kesepakatan para pihak.
Selain menyalahi esensi perjanjian jualbeli yang dasarnya kesepakatan para pihak, penentuan nilai pasar dapat menjadi ajang KKN aparat dengan wajib pajak.
2.      Saran
Tujuan dari verifikasi penentuan nilai pasar pada pembayaran BPHTB adalah untuk menggenjot sektor pendapatan negara, karena sebelum adanya UUPRDP, PPAT dan wajib pajak sering menentukan nilai jual beli yang dibawah harga yang sebenarnya untuk menghindari membayar pajak karena dasar penghitungan di SPPT-PBB yang sangat kecil.
Untuk itu solusi yang dapat menekan permainan wajib pajak dengan PPAT dalam menentukan NJOP serta permainan pemerintah kabupaten/kota dalam menentukan nilai pasar adalah dengan menaikan nilai SPPT-PBB secara signifikan atau wajar.
Dengan dinaikannya SPPT-PBB dasar pemungutannya jelas dan ada dasar hukumnya serta PPAT dan wajib pajak tidak akan dapat merekayasa nilai transaksi jual beli tersebut sehingga pendapatan negara akan meningkat.




DAFTAR PUSTAKA

Soemitro, Rochmat, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Eresco, Bandung, 1987
Soemitro, Rochmat, Asas dan Dasar Perpajakan 2, Eresco,Bandung, 1987
Brotodiharjo, Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Eresco, Bandung, 1986
____________________, Undang-Undang nomor 21 tahun 1997 tentang Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Direktorat PBB, Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, 1997
___________________, Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah, KPP PBB Pratama Blora, Blora, 2010.
Juliani, Henny, Materi Kuliah Hukum Pajak, Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang 2012



[1] R.Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Eresco, Bandung, 1986, hal. 2

Komentar

  1. Where is the best place to gamble on the go in Las Vegas
    › casino › hotel › casinos › texas › casino › 광주광역 출장안마 hotel › casinos › texas Find The Best 충청북도 출장안마 Casino 전라북도 출장샵 In Las 양산 출장안마 Vegas. Find the Best Casino With 전주 출장샵 The Best Casino Games. Earn bragging rights with our top rated casino slot games.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERAN PENEMUAN HUKUM OLEH NOTARIS BERKAITAN DENGAN PEMBUATAN AKTA-AKTA PENJUALAN JAMINAN KREDIT MACET YANG DIJAMIN DENGAN HAK TANGGUNGAN