PENERAPAN
ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK YANG BERTANGGUNG JAWAB DALAM PEMBUATAN PERJANJIAN
BAKU.
A. Pendahuluan
Perjanjian
atau perikatan merupakan suatu kegiatan
yang sering dilakukan oleh orang-orang, organisasi (badan hukum) dalam
berbagai sendi kehidupan bermasyarakat kaitannya dengan interaksi atau hubungan
diantara mereka, dengan berbagai cara, bentuk dan upaya yang secara bebas dimungkinkan
oleh mereka untuk melakukan hubungan hukum dalam rangka mencapai maksud dan tujuan
tersebut.
Dasar
dari hubungan yang bebas diantara para pihak tersebut dinamakan dengan perjanjian
atau perikatan yang diatur dalam buku III KUHPerdata yang disebut dengan asas kebebasan
berkontrak (contractvrijheid/partijaunomie),[1]
artinya subyek-subyek hukum diberi suatu kebebasan untuk mengadakan atau
melaksanakan kontrak/perjanjian sesuai kehendak dalam menentukan isi dan syarat
berdasarkan kesepakatan asalkan memenuhi rambu-rambu pembatasannya meliputi:
-
Kontrak
atau perjanjian yang tidak dilarang undang-undang.
-
Kontrak
atau perjanjian yang tidak bertentangan dengan kesusilaan.
-
Kontrak
atau perjanjian yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
Dengan
adanya asas kebebasan berkontrak tersebut di masyarakat timbul suatu perjanjian
yang dibuat oleh salah satu pihak yang perjanjian ini dipakai untuk suatu
hubungan hukum, perjanjian ini disebut perjanjian baku (contract standard).
Membahas
permasalahan mengenai asas kebebasan berkontrak dalam kaitan pembuatan
perjanjian baku sebagai suatu masalah, perlu terlebih dahulu kita kaji kaitan pengertian
suatu perjanjian sebagai bagian dari suatu perikatan.
Pada
dasarnya pengertian mengenai perikatan (verbitenis)
hampir sama dengan pengertian mengenai perjanjian (overemkomst). Akan tetapi dalam KUHPerdata tidak ada satupun pasal
yang mendefiniskan pengertian mengenai perikatan tersebut, pengertian dari
perikatan berasal dari beberapa pendapat sarjana yang mendefiniskan pengertian mengenai
perikatan sebagai bagian dari ilmu pengetahuan.
Inti
dari perikatan pada dasarnya memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak
berbuat sesuatu. Pengertian perikatan[2]
tersebut adalah suatu hubungan antara satu pihak dengan pihak lain dalam lalu
lintas hukum yang mengatur hak dan kewajiban timbal balik antar mereka
berkenaan dengan barang dan jasa (dalam lapangan harta kekayaan).
Sedang
pengertian mengenai perjanjian, KUHPerdata mendefinisikan dalam pasal 1313 bahwa
perjanjian adalah suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatan
diri terhadap satu orang lain atau lebih.
Dikatakan
memiliki pengertian yang hampir sama karena prinsip pokok dari perikatan dan
perjanjian adalah adanya hubungan hukum
antara subyek hukum dengan subyek hukum lainnya yang mempunyai akibat hukum
terhadap subyek hukum lainnya atau obyek hukum (sehingga timbul hak dan
kewajiban pada masing-masing pihak). Pengertian subyek hukum sendiri adalah
sesuatu yang pada dasarnya memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum
(bisa orang/naturlijkepersoon ataupun
badan hukum/rechtspersoon). Sedang
pengertian dari obyek hukum adalah segala sesuatu yang berada dalam pengaturan
hukum dan dapat dimanfaatkan oleh subyek hukum berdasarkan hak dan kewajiban
yang dimilikinya atas obyek hukum yang bersangkutan.
Secara
substansial ada beberapa hal mengenai perbedaan antara perikatan dan
perjanjian, yang perbedaan tersebut antara lain adalah:[3]
Perjanjian
|
Perikatan
|
a.
Perjanjian
adalah suatu perbuatan.
b.
Perjanjian
merupakan bagian dari perikatan.
c.
Pada
perjanjian terdapat adanya niat dari kedua belah pihak untuk melakukan
sesuatu sebagaimana menjadi isi perjanjian itu sendiri.
|
a.
Suatu
hubungan yang dihasilkan dari perjanjian itu yang menimbulkan hak dan
kewajiban pada masing-masing pihak.
b.
Jadi
suatu perjanjian adalah perikatan, akan tetapi belum tentu semua perikatan
adalah perjanjian.
c.
Sedang
suatu perikatan dapat terjadi tanpa adanya niat atau kehendak sebelumnya dari
para pihak yang bersangkutan.
|
Sedang
dalam praktek sehari-hari pembuatan suatu perjanjian dibuat secara sepihak atau perjanjian itu
sudah dibakukan oleh pemakainya atau
yang telah disebutkan diatas sebagai perjanjian baku (contract standard). Yang disebut dengan pengertian perjanjian baku tersebut
adalah[4]
perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh
pemakainya dan pihak lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan
atau meminta perubahan dari perjanjian tersebut.
Dengan
demikian dalam perjanjian baku tentu ada satu pihak yang dirugikan dari
pembuatan perjanjian tersebut. Contoh dari perjanjian baku ini adalah
perjanjian kredit bank, perjanjian sewa menyewa ruko/rukan, sewa menyewa
kendaraan, perjanjian jual beli kendaraan secara kredit, dan perjanjian –
perjanjian lainnya. Karena perjanjian merupakan bagian dari perikatan maka dasar
dari perjanjian baku tersebut adalah asas kebebasan berkontrak.
Asas
kebebasan berkontrak sendiri diatur dalam KUHPerdata dalam pasal 1338 ayat (1)
bahwa menyatakan semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya (pacta sunt servanda). pengertian dasar dari asas kebebasan
berkontrak sendiri adalah suatu asas yang menyatakan bahwa seseorang boleh
mengadakan perjanjian apa saja walaupun perjanjian tersebut belum atau tidak
diatur oleh Undang-Undang.[5]
Asas kebebasan berkontrak menurut hukum
perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut:[6]
a.
Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.
b.
Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.
c.
Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan
dibuatnya..
d.
Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.
e.
Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.
f.
Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undangundang yang
bersifat opsional (aanvullend, optional).
B. Permasalahan
Dari
uraian yang telah disebutkan diatas dapat kita tarik suatu batasan pertanyaan
yang menjadi dasar permasalahan dari makalah ini yang berjudul “PENERAPAN ASAS
KEBEBASAN BERKONTRAK YANG BERTANGGUNG JAWAB DALAM PEMBUATAN PERJANJIAN BAKU”,
yaitu:
1.
Apakah
dengan adanya asas kebebasan berkontrak setiap orang (pihak) dapat membuat
perjanjian sesuai kehendaknya tanpa memperhatikan kehendak pihak (orang) lain?
2.
Bagaimana penggunaan asas kebebasan berkontrak
berkaitan dengan pembuatan perjanjian baku (contract
standard)?
3.
Apakah
perjanjian baku tersebut melanggar asas kebebasan kebebasan berkontrak?
C. Pembahasan
Menjawab
pertanyaan yang pertama, apakah dengan adanya asas kebebasan berkontrak setiap
orang (pihak) dapat membuat perjanjian sesuai kehendaknya, tanpa memperhatikan
kehendak pihak (orang) lain?.
Pada
dasarnya sesuai dengan asas kebebasan berkontrak tadi seorang atau pihak dapat
dan bebas serta boleh membuat perjanjian apa saja yang dikehendakinya, asal
tidak melanggar asas dasar dari kebebasan berkontrak, asas dasar yang terdapat
dalam asas kebebasan berkontrak tersebut, yaitu:
1.
Tidak
melanggar Undang-Undang.
Bahwa perbuatan yang diperjanjikan tersebut tidak
bertentangan dengan pengaturan yang terdapat pada Undang-Undang serta
syarat-syarat mengenai perikatan yang diatur dalam Buku III KUHPerdata, contoh:
a.
Mengenai
ketentuan tentang syarat sahnya suatu perjanjian, yang syarat ini berlaku
terhadap semua perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Mengenai syarat sahnya
suatu perjanjian dalam KUHPerdata ketentuannya diatur pada pasal 1320, yaitu:
-
Sepakat
mereka yang mengikatkan diri (consenssus)
-
Cakap
dalam membuat suatu perjanjian (capacity)
-
Mengenai
hal tertentu (a certain subject matter)
-
Adanya
sebab yang halal (legal cause)
b.
Apakah
perjanjian tersebut dibuat dengan cacat kehendak (wilsgebrek).
Suatu perjanjian dinyatakan cacat kehendak atau dibuat
diluar kata sepakat apabila didalamnya terdapat unsur paksaan (dwang), kekilafan (dwaling) dan penipuan (badrog).
2.
Tidak
melanggar Kesusilaan.
Bahwa perbuatan yang diperjanjikan tersebut tidak
bertentangan dengan nilai-nilai kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat,
artinya meskipun perjanjian tidak merugikan orang lain atau tidak melanggar
Undang-Undang akan tetapi hal itu apabila tidak patut dilihat dari kacamata
kesusilaan sendiri maka asas kebebasan kebebsan berkontrak sendiri tidak dapat
dipakai.
Contoh: seorang ayah yang menjaminkan anak gadisnya untuk
melunasi hutangnya.
3.
Tidak
melangar ketertiban umum.
Bahwa perbuatan yang diperjanjikan tersebut tidak
melangar Ketertiban umum yang ada di masyarakat.
Contoh: seorang yang membuat perjanjian untuk membuat
usaha menanam ganja.
Dari batasan mengenai
asas kebebasan berkontrak yang telah uraikan diatas, meskipun secara tegas
pihak (orang) boleh membuat perjanjian apa saja namun batasan dalam asas
kebebasan berkontrak tidak secara mutlak dapat dijalankan oleh para pihak yang
membuat perjanjian tersebut, karena meski ada istilah bahwa perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi yang memakainya tetap saja
penggunaan asas tersebut tetap harus bertanggung jawab.
Yang dimaksud
bertanggung jawab dalam asas kebebasan berkontrak ini adalah bahwa perjanjian
yang dibuat oleh para pihak telah memenuhi unsur-unsur tidak melanggar
Undang-Undang, melanggar ketertiban Umum dan kesusilaan, tidak cacat kehendak,
dibuat dengan itikat baik, merupakan kebiasaan yang berlaku di masyarakat dan perjanjian
tersebut masuk akal.
Apakah dengan
demikian bolehkah semua orang atau para pihak ketika tidak melanggar asas dasar
dari kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab tersebut, maka semua perjanjian
yang dibuatnya menjadi sah. Jawabannya adalah tidak semua, karena selain
memenuhi unsur dasar dari asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab tersebut,
juga perjanjian yang dibuat para pihak tersebut juga harus memenuhi asas – asas
lain yang diantaranya:[7]
a.
Asas
konsensualisme
Asas ini dapat ditemukan dalam pasal 1320 KUHPerdata,
asas ini sangat erat dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian, bahwa para
pihak diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will) yang baik dalam membuat perjanjian.
b.
Asas
kepercayaan
Bahwa terdapat kepercayaan dari para pihak yang
mengadakan perjanjian bahwa nantinya mereka akan saling memenuhi prestasi.
c.
Asas
kekuatan mengikat
Bahwa perjanjian yang telah dibuat mengikat para pihak,
tidak hanya ketentuan yang mereka buat saja, akan tetapi juga unsur-unsur lain
seperti kebiasaan dan kepatutan secara moral.
d.
Asas
persamaan hak
Perlakuan yang sama diantara para pihak bahwa mereka
mempunyai hak yang sama.
e.
Asas
keseimbangan
Asas ini menghendaki kedua belah pihak secara seimbang
memenuhi dan melaksanakan perjanjian ini (asas ini merupakan lanjutan dari asas
persamaan hak).
f.
Asas
moral
Asas ini menghendaki dalam membuat perjanjian harus
didasarkan pada moral dan panggilan hati nurani.
g.
Asas
kepatutan
Kepatutan mengenai isi perjanjian.
h.
Asas
kebiasaan
Suatu perjanjian tidak hanya mengikat apa yang diatur
dalam perjanjian itu akan tetapi juga memperhatikan keadaan dan kebiasaan yang
telah ada.
i.
Asas
kepastian hukum
Perjanjian dipandang sebagai figur hukum yang harus
mengandung kepastian hukum.
Sedangkan menjawab
pertanyaan yang kedua adalah bagaimana
penggunaan asas kebebasan berkontrak berkaitan dengan pembuatan
perjanjian baku (contract standard)?
Disini harus
dijawab terlebih dahulu mengenai apa itu arti perjanjian baku? Latar belakang
tumbuhnya perjanjian baku adalah keadaan sosial ekonomi yang tumbuh di
masyarakat, dimana perusahaan – perusahaan mengadakan suatu kerjasama dalam
suatu organisasi dan untuk kepentingan tersebut mereka menerapkan syarat-syarat
secara sepihak, sedangkan pihak lawannya pada dasarnya memiliki keadaan yang
lemah atau ketidaktahuan (keterpaksaan).
Seperti yang telah
dijelaskan diatas mengenai pengertian perjanjian baku dan ciri dalam perjanjian
baku adalah terdapat klausula eksenoransi.
Kemudian timbul pertanyaan dimanakah letak klausula eksenoransi tersebut dalam
asas kebebasan berkontrak.
Menurut Rijken[8] pengertian
Klausula eksenoransi adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian
dengan mana satu pihak menghndarkan diri untuk memenuhi kewajibannya dengan
membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas yang terjadi karena ingkar janji
atau perbuatan melawan hukum.
Klausula
eksenoransi ini dapat terjadi atas kehendak satu pihak yang dituangkan dalam
suatu perjanjian yang dibuat baik secara individual ataupun masal. Yang
bersifat masal ini telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak dalam
bentuk formulir yang disebut dengan perjanjian baku, contoh terdekat dari
perjanjian baku ini adalah perjanjian kredit bank, dan perjanjian ini sudah
menjadi suatu kebiasaan di masyarakat yang ada kaitannya hubungan utang
piutang.
Uraian diatas
menunjukan bahwa perjanjian baku adalah perjanjian yang didalamnya dibakukan
suatu klausula (syarat) eksenoransi (penyimpangan) dan hal itu dituangkan dalam
bentuk formulir, dan kenyataannya perjanjian ini berlaku dan dibutuhkan di
masyarakat, serta Asas kebebasan berkontrak selalu berhubungan dengan isi
perjanjian tersebut, yaitu kebebasan dalam menentukan apa dan dengan siapa
perjanjian itu diadakan.
Kemudian timbul
pertanyaan ketiga apakah perjanjian baku tersebut melanggar asas kebebasan
berkontrak? Ada dua paham atau pendapat yang memberikan jawaban terhadap
pertanyaan tersebut. Jawaban tersebut adalah jawaban yang tidak setuju dengan
perjanjian baku sebagai bagian dari suatu perjanjian dan pendapat yang lain
adalah pendapat yang setuju bahwa perjanjian baku adalah bagian dari suatu
perjanjian.
Yang pertama adalah
pendapat menurut Sluijter[9] perjanjian baku ini bukan merupakan
perjanjian, sebab kedudukan pengusaha didalam perjanjian ini adalah seperti
pembentuk Undang-Undang swasta (legio
particuliere wetgever). Sehingga syarat-syarat yang ditentukan
Undang-Undang itu bukan perjanjian.
Sluijer menganggap
bahwa pembuatan perjanjian tersebut terdapat pemaksaan, biasannya karena dalam
perjanjian tersebut salah satu pihak terpaksa untuk mengadakan perjanjian
tersebut karena suatu kebutuhan. Contoh adalah seseorang yang anggota
keluarganya sakit dan membutuhkan biaya pengobatan meminjam uang kepada orang
lain dengan jaminan rumah dan tanahnya dengan syarat sertipikat tanah tersebut
harus dibalik nama kepada kreditur dengan catatan apabila pembayarannya lunas
nantinya sertipikatnya akan dibaliknama keatas nama debitur lagi. (perjanjian
jual beli tanah dengan hak membeli kembali). Perjanjian ini sangat merugikan
debitur karena ketika utang piutang lunas belum tentu kreditur mau membalik
nama sertipikat debitur tersebut.
Yang kedua menurut
Pitlo[10]
yaitu bahwa suatu perjanjian paksa (dwang
contract), walaupun secara teoritis yuridis
perperjanjian baku ini tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang dan oleh beberapa
ahli hukum ditolak, namun kenyataannya, kebutuhan masyarakat berjalan dalam
arah yang berlawanan dengan keinginan hukum.
Pitlo menganggap
apabila hal itu masih dalam batas kewajaran masih dapat diterima sebagai bagian
dari suatu perjanjian. Contohnya adalah perjanjian kredit bank, dalam
perjanjian kredit bank syarat, bunga denda dan yang menentukan nilai jaminan
adalah satu pihak yaitu bank (kreditur), akan tetapi dalam perjanjian kredit
bank campur tangan pemerintah juga masih ada yaitu adanya pengawasan yang
dilakukan oleh negara (Bank Indonesia) mengenai ketentuan-ketentuan pemberian
kredit.
Sedang menurut
hemat kami, perjanjian baku tidak melanggar asas kebebasan berkontrak dengan
syarat atau catatan tertentu, karena meski dalam perjanjian baku tertentu
posisi para pihak tidak seimbang, karena salah satu pihak tidak mempunyai bergaining posisition dengan pihak lain,
contohnya perjanjian kredit bank dimana debitur tidak mempunyai kekuatan untuk
mengutarakan kehendak dan kebebasan dalam menentukan isi perjanjian baku ini,
karena dalam perjanjian kredit bank yang menentukan besarnya uang, bunga dan
syarat-syarat lainnya adalah bank (perjanjian inipun pada dasarnya menurut
beberapa ahli tidak memenuhi elemen dalam pasal 1320 jo 1338 KUHPerdata), namun
karena debitur secara sukarela menerima perjanjian tersebut maka ia secara
sukarela dianggap setuju pada isi perjanjian yang telah mereka buat tersebut.
Perjanjian yang demikian dapat kita sebut sebagai perjanjian baku yang dibuat
berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab.
Artinya selain
perjanjian tersebut telah memenuhi unsur dasar asas kebebasan berkontrak, juga
terdapat unsur etikat baik para pihak dalam membuat perjanjian tersebut dan
klausula eksenoransi dalam perjanjian tersebut juga tidak semata-mata merugikan
salah satu pihak saja, serta itu merupakan bagian dari kebiasaan hukum,
kebutuhan masyarakat dan perjanjian tersebut masuk akal.
D. Kesimpulan
Dari
topik makalah yang sebagaimana telah kita uraikan diatas, dapat kita tarik
suatu simpulan :
a.
Bahwa
perjanjian merupakan bagian dari suatu perikatan, intinya adalah bahwa
perjanjian adalah suatu perbuatan sedangkan perikatan adalah hubungan yang
dihasilkan oleh perjanjian tersebut yang menghasilkan hak dan kewajiban pada
masing-masing pihak.
b.
Meskipun
suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi yang
mengadakannnya, akan tetapi dalam pembuatannya harus memperhatikan
ketentuan-ketentuan yang terdapat pada asas kebebasan berkontrak yaitu
perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang, tidak melanggar
kesusilan dan tidak melanggar ketertiban umum serta perjanjian tersebut dibuat
tdak cacat kehendak.
c.
Pada
prinsipnya pembuatan perjanjian baku (tertentu) bertentangan dengan asas
kebebasan berkontrak, karena kedudukan salah satu pihak tidak seimbang dengan
pihak lain (adanya syarat atau klausula eksenoransi) yang dapat merugikan salah
satu pihak dalam perjanjian tersebut.
d.
Hal
itu terdapat suatu pengecualian apabila salah satu pihak dengan sukarela
menerima dan menyetujui perjanjian ini, serta perjanjian tersebut tidak
merugikan pihak lain dan telah dipenuhinya prinsip asas kebebasan berkontrak, perjanjian
tersebut tidak cacat kehendak dan perjanjian tersebut dibutuhkan dalam lalu
lintas hukum, perjanjian yang demikian disebut asas kebebasan berkontrak yang
bertanggung jawab.
E. Saran
Dari
simpulan tersebut diatas, saran yang dapat kita berikan adalah pada prinsipnya
perjanjian baku dapat kita buat dan kita jalankan, asalkan bahwa Klausula
eksenoransi yang merugikan salah satu pihak bukan merupakan syarat mutlak yang
dimasukan dalam isi perjanjian, akan tetapi penyimpangan suatu perjanjian bukan
semata-mata perjanjian tersebut akan merugikan salah satu pihak saja, karena perjanjian
baku yang dibuat oleh para pihak merupakan jawaban atas kebutuhan masyarakat
dalam pembuatan suatu perjanjian tertentu.
Pembuatan
perjanjian baku harus memenuhi unsur yang terdapat pada asas kebebasan
berkontrak, tidak cacat kehendak, dibuat dengan itikat baik para pihak dan
perjanjian tersebut nyata-nyata dibutuhkan oleh masyarakat hukum.
F. Penutup
Dengan demikian KUHPerdata sebagai
Undang-Undang yang mengatur suatu perikatan mempunyai jiwa yang bersifat fleksibel artinya sama dengan pengertian
bahwa KUHPerdata adalah sebagai hukum pelengkap, selain ketentuan-ketentuan
tersebut telah diatur dalam Undang-Undang namun dalam prakteknya kita harus
dapat membuat pengaturan sendiri sebagai pelengkap dari Undang-Undang tersebut.
Dengan demikian bahwa asas kebebasan
berkontrak meskipun sudah diatur dalam KUHPerdata namun kebutuhan masyarakat
akan hukum membuat orang melakukan penyimpangan-penyimpangan tentang asas
kebebasan berkontrak dan hal tersebut dapat diterima dimasyarakat, sehingga
masyarakat menganggap hal itu sebagai penerapan asas kebebasan berkontrak yang
bertanggung jawab.
------0000------
[1] Achmad Busro, Hukum Perikatan Berdasar Buku III KUH
Perdata, Pohon Cahaya, Yogyakarta, 2012, hal 1
[2] A. Ridwan Halim, Hukum Perdata
dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, Hal. 145.
[3] Ibid, hal 149
[4] Sutan Remy Syadeni, Kebebasan
Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian
Kredit Bank Di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, Hal 66
[5] Asas Kebebasan Berkontrak memiliki batasan yang diatur Undang-Undang
bahwa perjanjian tersebut tidak dilarang oleh Undang-Undang, Tidak bertentangan
dengan kesusilaan dan Tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
[6] Herlien Budiono, Kebebasan
Berkontrak dan Kedudukan Yang Seimbang Dalam Suatu Perjanjian, Media
Notariat, Jakarta, 1993, Hal. 24
[7] Mariam Darus Badrulzaman, Asas
Kebebasan Berkontrak Dan Kaitannya dengan Perjanjian Baku (Standard),
Makalah-Media Notariat Edisi Juli – Oktober 1993, Jakarta Hal 40
[8] ibid, hal 44
[9]Ibid hal 49
[10] Ibid hal 49
Komentar
Posting Komentar