PENERAPAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK YANG BERTANGGUNG JAWAB DALAM PEMBUATAN PERJANJIAN BAKU.
 oleh: Mulyono, S.H., M.Kn.

A.   Pendahuluan
Perjanjian atau perikatan merupakan suatu kegiatan  yang sering dilakukan oleh orang-orang, organisasi (badan hukum) dalam berbagai sendi kehidupan bermasyarakat kaitannya dengan interaksi atau hubungan diantara mereka, dengan berbagai cara, bentuk dan upaya yang secara bebas dimungkinkan oleh mereka untuk melakukan hubungan hukum dalam rangka mencapai maksud dan tujuan tersebut.
Dasar dari hubungan yang bebas diantara para pihak tersebut dinamakan dengan perjanjian atau perikatan yang diatur dalam buku III KUHPerdata yang disebut dengan asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid/partijaunomie),[1] artinya subyek-subyek hukum diberi suatu kebebasan untuk mengadakan atau melaksanakan kontrak/perjanjian sesuai kehendak dalam menentukan isi dan syarat berdasarkan kesepakatan asalkan memenuhi rambu-rambu pembatasannya meliputi:
-       Kontrak atau perjanjian yang tidak dilarang undang-undang.
-       Kontrak atau perjanjian yang tidak bertentangan dengan kesusilaan.
-       Kontrak atau perjanjian yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
Dengan adanya asas kebebasan berkontrak tersebut di masyarakat timbul suatu perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak yang perjanjian ini dipakai untuk suatu hubungan hukum, perjanjian ini disebut perjanjian baku (contract standard).
Membahas permasalahan mengenai asas kebebasan berkontrak dalam kaitan pembuatan perjanjian baku sebagai suatu masalah, perlu terlebih dahulu kita kaji kaitan pengertian suatu perjanjian sebagai bagian dari suatu perikatan.
Pada dasarnya pengertian mengenai perikatan (verbitenis) hampir sama dengan pengertian mengenai perjanjian (overemkomst). Akan tetapi dalam KUHPerdata tidak ada satupun pasal yang mendefiniskan pengertian mengenai perikatan tersebut, pengertian dari perikatan berasal dari beberapa pendapat sarjana yang mendefiniskan pengertian mengenai perikatan sebagai bagian dari ilmu pengetahuan.
Inti dari perikatan pada dasarnya memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu. Pengertian perikatan[2] tersebut adalah suatu hubungan antara satu pihak dengan pihak lain dalam lalu lintas hukum yang mengatur hak dan kewajiban timbal balik antar mereka berkenaan dengan barang dan jasa (dalam lapangan harta kekayaan).
Sedang pengertian mengenai perjanjian, KUHPerdata mendefinisikan dalam pasal 1313 bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
Dikatakan memiliki pengertian yang hampir sama karena prinsip pokok dari perikatan dan perjanjian adalah adanya hubungan hukum antara subyek hukum dengan subyek hukum lainnya yang mempunyai akibat hukum terhadap subyek hukum lainnya atau obyek hukum (sehingga timbul hak dan kewajiban pada masing-masing pihak). Pengertian subyek hukum sendiri adalah sesuatu yang pada dasarnya memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum (bisa orang/naturlijkepersoon ataupun badan hukum/rechtspersoon). Sedang pengertian dari obyek hukum adalah segala sesuatu yang berada dalam pengaturan hukum dan dapat dimanfaatkan oleh subyek hukum berdasarkan hak dan kewajiban yang dimilikinya atas obyek hukum yang bersangkutan.
Secara substansial ada beberapa hal mengenai perbedaan antara perikatan dan perjanjian, yang perbedaan tersebut antara lain adalah:[3]
Perjanjian
Perikatan
a.    Perjanjian adalah suatu perbuatan.
b.    Perjanjian merupakan bagian dari perikatan.
c.    Pada perjanjian terdapat adanya niat dari kedua belah pihak untuk melakukan sesuatu sebagaimana menjadi isi perjanjian itu sendiri.
a.    Suatu hubungan yang dihasilkan dari perjanjian itu yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak.
b.    Jadi suatu perjanjian adalah perikatan, akan tetapi belum tentu semua perikatan adalah perjanjian.
c.    Sedang suatu perikatan dapat terjadi tanpa adanya niat atau kehendak sebelumnya dari para pihak yang bersangkutan.
Sedang dalam praktek sehari-hari pembuatan suatu perjanjian  dibuat secara sepihak atau perjanjian itu sudah dibakukan oleh pemakainya  atau yang telah disebutkan diatas sebagai perjanjian baku (contract standard). Yang disebut dengan pengertian perjanjian baku tersebut adalah[4] perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan dari perjanjian tersebut.
Dengan demikian dalam perjanjian baku tentu ada satu pihak yang dirugikan dari pembuatan perjanjian tersebut. Contoh dari perjanjian baku ini adalah perjanjian kredit bank, perjanjian sewa menyewa ruko/rukan, sewa menyewa kendaraan, perjanjian jual beli kendaraan secara kredit, dan perjanjian – perjanjian lainnya. Karena perjanjian merupakan bagian dari perikatan maka dasar dari perjanjian baku tersebut adalah asas kebebasan berkontrak.
Asas kebebasan berkontrak sendiri diatur dalam KUHPerdata dalam pasal 1338 ayat (1) bahwa menyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (pacta sunt servanda).  pengertian dasar dari asas kebebasan berkontrak sendiri adalah suatu asas yang menyatakan bahwa seseorang boleh mengadakan perjanjian apa saja walaupun perjanjian tersebut belum atau tidak diatur oleh Undang-Undang.[5]
Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut:[6]
a.    Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.
b.    Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.
c.    Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya..
d.    Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.
e.    Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.
f.     Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang­undang yang bersifat opsional (aanvullend, optional).

B.   Permasalahan
Dari uraian yang telah disebutkan diatas dapat kita tarik suatu batasan pertanyaan yang menjadi dasar permasalahan dari makalah ini yang berjudul “PENERAPAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK YANG BERTANGGUNG JAWAB DALAM PEMBUATAN PERJANJIAN BAKU”, yaitu:
1.    Apakah dengan adanya asas kebebasan berkontrak setiap orang (pihak) dapat membuat perjanjian sesuai kehendaknya tanpa memperhatikan kehendak pihak (orang) lain?
2.    Bagaimana  penggunaan asas kebebasan berkontrak berkaitan dengan pembuatan perjanjian baku (contract standard)?
3.    Apakah perjanjian baku tersebut melanggar asas kebebasan kebebasan berkontrak?

C.   Pembahasan
Menjawab pertanyaan yang pertama, apakah dengan adanya asas kebebasan berkontrak setiap orang (pihak) dapat membuat perjanjian sesuai kehendaknya, tanpa memperhatikan kehendak pihak (orang) lain?.
Pada dasarnya sesuai dengan asas kebebasan berkontrak tadi seorang atau pihak dapat dan bebas serta boleh membuat perjanjian apa saja yang dikehendakinya, asal tidak melanggar asas dasar dari kebebasan berkontrak, asas dasar yang terdapat dalam asas kebebasan berkontrak tersebut, yaitu:
1.    Tidak melanggar Undang-Undang.
Bahwa perbuatan yang diperjanjikan tersebut tidak bertentangan dengan pengaturan yang terdapat pada Undang-Undang serta syarat-syarat mengenai perikatan yang diatur dalam Buku III KUHPerdata, contoh:
a.    Mengenai ketentuan tentang syarat sahnya suatu perjanjian, yang syarat ini berlaku terhadap semua perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Mengenai syarat sahnya suatu perjanjian dalam KUHPerdata ketentuannya diatur pada pasal 1320, yaitu:
-       Sepakat mereka yang mengikatkan diri (consenssus)
-       Cakap dalam membuat suatu perjanjian (capacity)
-       Mengenai hal tertentu (a certain subject matter)
-       Adanya sebab yang halal (legal cause)
b.    Apakah perjanjian tersebut dibuat dengan cacat kehendak (wilsgebrek).
Suatu perjanjian dinyatakan cacat kehendak atau dibuat diluar kata sepakat apabila didalamnya terdapat unsur paksaan (dwang), kekilafan (dwaling) dan penipuan (badrog).
2.    Tidak melanggar Kesusilaan.
Bahwa perbuatan yang diperjanjikan tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat, artinya meskipun perjanjian tidak merugikan orang lain atau tidak melanggar Undang-Undang akan tetapi hal itu apabila tidak patut dilihat dari kacamata kesusilaan sendiri maka asas kebebasan kebebsan berkontrak sendiri tidak dapat dipakai.
Contoh: seorang ayah yang menjaminkan anak gadisnya untuk melunasi hutangnya.
3.    Tidak melangar ketertiban umum.
Bahwa perbuatan yang diperjanjikan tersebut tidak melangar Ketertiban umum yang ada di masyarakat.
Contoh: seorang yang membuat perjanjian untuk membuat usaha menanam ganja.
Dari batasan mengenai asas kebebasan berkontrak yang telah uraikan diatas, meskipun secara tegas pihak (orang) boleh membuat perjanjian apa saja namun batasan dalam asas kebebasan berkontrak tidak secara mutlak dapat dijalankan oleh para pihak yang membuat perjanjian tersebut, karena meski ada istilah bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi yang memakainya tetap saja penggunaan asas tersebut tetap harus bertanggung jawab.
Yang dimaksud bertanggung jawab dalam asas kebebasan berkontrak ini adalah bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak telah memenuhi unsur-unsur tidak melanggar Undang-Undang, melanggar ketertiban Umum dan kesusilaan, tidak cacat kehendak, dibuat dengan itikat baik, merupakan kebiasaan yang berlaku di masyarakat dan perjanjian tersebut masuk akal.
Apakah dengan demikian bolehkah semua orang atau para pihak ketika tidak melanggar asas dasar dari kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab tersebut, maka semua perjanjian yang dibuatnya menjadi sah. Jawabannya adalah tidak semua, karena selain memenuhi unsur dasar dari asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab tersebut, juga perjanjian yang dibuat para pihak tersebut juga harus memenuhi asas – asas lain yang diantaranya:[7]
a.    Asas konsensualisme
Asas ini dapat ditemukan dalam pasal 1320 KUHPerdata, asas ini sangat erat dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian, bahwa para pihak diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will) yang baik dalam membuat perjanjian.
b.    Asas kepercayaan
Bahwa terdapat kepercayaan dari para pihak yang mengadakan perjanjian bahwa nantinya mereka akan saling memenuhi prestasi.
c.    Asas kekuatan mengikat
Bahwa perjanjian yang telah dibuat mengikat para pihak, tidak hanya ketentuan yang mereka buat saja, akan tetapi juga unsur-unsur lain seperti kebiasaan dan kepatutan secara moral.
d.    Asas persamaan hak
Perlakuan yang sama diantara para pihak bahwa mereka mempunyai hak yang sama.
e.    Asas keseimbangan
Asas ini menghendaki kedua belah pihak secara seimbang memenuhi dan melaksanakan perjanjian ini (asas ini merupakan lanjutan dari asas persamaan hak).
f.     Asas moral
Asas ini menghendaki dalam membuat perjanjian harus didasarkan pada moral dan panggilan hati nurani.
g.    Asas kepatutan
Kepatutan mengenai isi perjanjian.
h.    Asas kebiasaan
Suatu perjanjian tidak hanya mengikat apa yang diatur dalam perjanjian itu akan tetapi juga memperhatikan keadaan dan kebiasaan yang telah ada.
i.      Asas kepastian hukum
Perjanjian dipandang sebagai figur hukum yang harus mengandung kepastian hukum.
Sedangkan menjawab pertanyaan yang kedua adalah bagaimana  penggunaan asas kebebasan berkontrak berkaitan dengan pembuatan perjanjian baku (contract standard)?
Disini harus dijawab terlebih dahulu mengenai apa itu arti perjanjian baku? Latar belakang tumbuhnya perjanjian baku adalah keadaan sosial ekonomi yang tumbuh di masyarakat, dimana perusahaan – perusahaan mengadakan suatu kerjasama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingan tersebut mereka menerapkan syarat-syarat secara sepihak, sedangkan pihak lawannya pada dasarnya memiliki keadaan yang lemah atau ketidaktahuan (keterpaksaan).
Seperti yang telah dijelaskan diatas mengenai pengertian perjanjian baku dan ciri dalam perjanjian baku adalah terdapat klausula eksenoransi. Kemudian timbul pertanyaan dimanakah letak klausula eksenoransi tersebut dalam asas kebebasan berkontrak.
Menurut Rijken[8] pengertian Klausula eksenoransi adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghndarkan diri untuk memenuhi kewajibannya dengan membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum.
Klausula eksenoransi ini dapat terjadi atas kehendak satu pihak yang dituangkan dalam suatu perjanjian yang dibuat baik secara individual ataupun masal. Yang bersifat masal ini telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak dalam bentuk formulir yang disebut dengan perjanjian baku, contoh terdekat dari perjanjian baku ini adalah perjanjian kredit bank, dan perjanjian ini sudah menjadi suatu kebiasaan di masyarakat yang ada kaitannya hubungan utang piutang.
Uraian diatas menunjukan bahwa perjanjian baku adalah perjanjian yang didalamnya dibakukan suatu klausula (syarat) eksenoransi (penyimpangan) dan hal itu dituangkan dalam bentuk formulir, dan kenyataannya perjanjian ini berlaku dan dibutuhkan di masyarakat, serta Asas kebebasan berkontrak selalu berhubungan dengan isi perjanjian tersebut, yaitu kebebasan dalam menentukan apa dan dengan siapa perjanjian itu diadakan.
Kemudian timbul pertanyaan ketiga apakah perjanjian baku tersebut melanggar asas kebebasan berkontrak? Ada dua paham atau pendapat yang memberikan jawaban terhadap pertanyaan tersebut. Jawaban tersebut adalah jawaban yang tidak setuju dengan perjanjian baku sebagai bagian dari suatu perjanjian dan pendapat yang lain adalah pendapat yang setuju bahwa perjanjian baku adalah bagian dari suatu perjanjian.
Yang pertama adalah pendapat menurut Sluijter[9] perjanjian baku ini bukan merupakan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha didalam perjanjian ini adalah seperti pembentuk Undang-Undang swasta (legio particuliere wetgever). Sehingga syarat-syarat yang ditentukan Undang-Undang itu bukan perjanjian.
Sluijer menganggap bahwa pembuatan perjanjian tersebut terdapat pemaksaan, biasannya karena dalam perjanjian tersebut salah satu pihak terpaksa untuk mengadakan perjanjian tersebut karena suatu kebutuhan. Contoh adalah seseorang yang anggota keluarganya sakit dan membutuhkan biaya pengobatan meminjam uang kepada orang lain dengan jaminan rumah dan tanahnya dengan syarat sertipikat tanah tersebut harus dibalik nama kepada kreditur dengan catatan apabila pembayarannya lunas nantinya sertipikatnya akan dibaliknama keatas nama debitur lagi. (perjanjian jual beli tanah dengan hak membeli kembali). Perjanjian ini sangat merugikan debitur karena ketika utang piutang lunas belum tentu kreditur mau membalik nama sertipikat debitur tersebut.
Yang kedua menurut Pitlo[10] yaitu bahwa suatu perjanjian paksa (dwang contract), walaupun secara teoritis yuridis  perperjanjian baku ini tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang dan oleh beberapa ahli hukum ditolak, namun kenyataannya, kebutuhan masyarakat berjalan dalam arah yang berlawanan dengan keinginan hukum.
Pitlo menganggap apabila hal itu masih dalam batas kewajaran masih dapat diterima sebagai bagian dari suatu perjanjian. Contohnya adalah perjanjian kredit bank, dalam perjanjian kredit bank syarat, bunga denda dan yang menentukan nilai jaminan adalah satu pihak yaitu bank (kreditur), akan tetapi dalam perjanjian kredit bank campur tangan pemerintah juga masih ada yaitu adanya pengawasan yang dilakukan oleh negara (Bank Indonesia) mengenai ketentuan-ketentuan pemberian kredit.
Sedang menurut hemat kami, perjanjian baku tidak melanggar asas kebebasan berkontrak dengan syarat atau catatan tertentu, karena meski dalam perjanjian baku tertentu posisi para pihak tidak seimbang, karena salah satu pihak tidak mempunyai bergaining posisition dengan pihak lain, contohnya perjanjian kredit bank dimana debitur tidak mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasan dalam menentukan isi perjanjian baku ini, karena dalam perjanjian kredit bank yang menentukan besarnya uang, bunga dan syarat-syarat lainnya adalah bank (perjanjian inipun pada dasarnya menurut beberapa ahli tidak memenuhi elemen dalam pasal 1320 jo 1338 KUHPerdata), namun karena debitur secara sukarela menerima perjanjian tersebut maka ia secara sukarela dianggap setuju pada isi perjanjian yang telah mereka buat tersebut. Perjanjian yang demikian dapat kita sebut sebagai perjanjian baku yang dibuat berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab.
Artinya selain perjanjian tersebut telah memenuhi unsur dasar asas kebebasan berkontrak, juga terdapat unsur etikat baik para pihak dalam membuat perjanjian tersebut dan klausula eksenoransi dalam perjanjian tersebut juga tidak semata-mata merugikan salah satu pihak saja, serta itu merupakan bagian dari kebiasaan hukum, kebutuhan masyarakat dan perjanjian tersebut masuk akal.

D.   Kesimpulan
Dari topik makalah yang sebagaimana telah kita uraikan diatas, dapat kita tarik suatu simpulan :
a.    Bahwa perjanjian merupakan bagian dari suatu perikatan, intinya adalah bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan sedangkan perikatan adalah hubungan yang dihasilkan oleh perjanjian tersebut yang menghasilkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak.
b.    Meskipun suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi yang mengadakannnya, akan tetapi dalam pembuatannya harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada asas kebebasan berkontrak yaitu perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang, tidak melanggar kesusilan dan tidak melanggar ketertiban umum serta perjanjian tersebut dibuat tdak cacat kehendak.
c.    Pada prinsipnya pembuatan perjanjian baku (tertentu) bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak, karena kedudukan salah satu pihak tidak seimbang dengan pihak lain (adanya syarat atau klausula eksenoransi) yang dapat merugikan salah satu pihak dalam perjanjian tersebut.
d.    Hal itu terdapat suatu pengecualian apabila salah satu pihak dengan sukarela menerima dan menyetujui perjanjian ini, serta perjanjian tersebut tidak merugikan pihak lain dan telah dipenuhinya prinsip asas kebebasan berkontrak, perjanjian tersebut tidak cacat kehendak dan perjanjian tersebut dibutuhkan dalam lalu lintas hukum, perjanjian yang demikian disebut asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab.

E.    Saran
Dari simpulan tersebut diatas, saran yang dapat kita berikan adalah pada prinsipnya perjanjian baku dapat kita buat dan kita jalankan, asalkan bahwa Klausula eksenoransi yang merugikan salah satu pihak bukan merupakan syarat mutlak yang dimasukan dalam isi perjanjian, akan tetapi penyimpangan suatu perjanjian bukan semata-mata perjanjian tersebut akan merugikan salah satu pihak saja, karena perjanjian baku yang dibuat oleh para pihak merupakan jawaban atas kebutuhan masyarakat dalam pembuatan suatu perjanjian tertentu.
Pembuatan perjanjian baku harus memenuhi unsur yang terdapat pada asas kebebasan berkontrak, tidak cacat kehendak, dibuat dengan itikat baik para pihak dan perjanjian tersebut nyata-nyata dibutuhkan oleh masyarakat hukum.



F.    Penutup
Dengan demikian KUHPerdata sebagai Undang-Undang yang mengatur suatu perikatan mempunyai jiwa yang bersifat fleksibel artinya sama dengan pengertian bahwa KUHPerdata adalah sebagai hukum pelengkap, selain ketentuan-ketentuan tersebut telah diatur dalam Undang-Undang namun dalam prakteknya kita harus dapat membuat pengaturan sendiri sebagai pelengkap dari Undang-Undang tersebut.
Dengan demikian bahwa asas kebebasan berkontrak meskipun sudah diatur dalam KUHPerdata namun kebutuhan masyarakat akan hukum membuat orang melakukan penyimpangan-penyimpangan tentang asas kebebasan berkontrak dan hal tersebut dapat diterima dimasyarakat, sehingga masyarakat menganggap hal itu sebagai penerapan asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab.

------0000------


[1] Achmad Busro, Hukum Perikatan Berdasar Buku III KUH Perdata, Pohon Cahaya, Yogyakarta, 2012, hal 1
[2] A. Ridwan Halim, Hukum Perdata dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, Hal. 145.
[3] Ibid, hal 149
[4] Sutan Remy Syadeni, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, Hal 66
[5] Asas Kebebasan Berkontrak memiliki batasan yang diatur Undang-Undang bahwa perjanjian tersebut tidak dilarang oleh Undang-Undang, Tidak bertentangan dengan kesusilaan dan Tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
[6] Herlien Budiono, Kebebasan Berkontrak dan Kedudukan Yang Seimbang Dalam Suatu Perjanjian, Media Notariat, Jakarta, 1993, Hal. 24
[7] Mariam Darus Badrulzaman, Asas Kebebasan Berkontrak Dan Kaitannya dengan Perjanjian Baku (Standard), Makalah-Media Notariat Edisi Juli – Oktober 1993, Jakarta Hal 40
[8] ibid, hal 44
[9]Ibid hal 49
[10] Ibid hal 49

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERAN PENEMUAN HUKUM OLEH NOTARIS BERKAITAN DENGAN PEMBUATAN AKTA-AKTA PENJUALAN JAMINAN KREDIT MACET YANG DIJAMIN DENGAN HAK TANGGUNGAN

AKIBAT HUKUM PENENTUAN NILAI PASAR DALAM PEMBUATAN AKTA JUALBELI TANAH DAN BANGUNAN OLEH PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA MENGENAI NILAI JUAL OBYEK PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (NJOP – BPHTB)